BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dari awal hingga akhir, al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada
pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an
yufassir-u ba’dhuhu ba’dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa
berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya
Allah yang mengetahui maksudnya([2]). Dalam al-Qur’an dijelaskan tentang adanya
induk pengertian hunna umm al-kitab([3]) yang sudah mempunyai kekuatan hokum
tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan
pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan
sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan
ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa,
sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan
satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang
melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal
“interpretasi historis.” Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbabun nuzul, yang
mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi
tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur’an. Dalam konteks
sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah
nasikh-mansukh.
B. TOPIK PEMBAHASAN
Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah
asas, pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis Dan Bada’,
jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah
kegunaannya mempelajari nasikh dan mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAS NASIKH MANSUKH
Andaikan al-Qur’an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling
bertentangan([4]). Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan
menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an. Kitab
Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat,
mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung
antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran
budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir
ini, tampak jelas dengan adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah
ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas
prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap
ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa
antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur’an tidak ada kontradiksi (ta’arudl).
Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian
terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya
gejala pertentangan (ta’arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran
dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya([5]).
B. PENGERTIAN NASIKH MANSUKH
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini
dipakai untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan
pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau
pengalihan([6]). Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim
dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi
etimologis kata naskh itu. Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil
syar’I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang
mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya,
sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq).
Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum (‘am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian
pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau
muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk
ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di
satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak
-dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian.
C. PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA’
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu
Muslim al Ashfahani dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan
al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan
tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh “pembatalan” meskipun demikian, pada
umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya
pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang
kemudian;
2. Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
3. Adanya penetapan
syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai
nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.[10] Tampaknya al
Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran.
Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan
demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian
satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad ‘amm”[11]. Bertolak
dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara
keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
PERBEDAAN NASAKH DAN TAKHSHIS
NASAKH
1. Satuan yang
terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
2. Nasakh adalah
menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3. Nasakh hanya
terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
4. Nasakh adanya
menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi
nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum
yang tedapat dalam mansukh.
TAKSHSIS
1. Satuan yang
tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam
lafadz ‘aam.
2. Takhshis adalah
merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘aam.
3. Takhshis dapat
terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshis tidak
menghapuskan hokum ‘aam sama sekali. Hokum ‘aam tetap berlaku meskipun sudah
dikhushuskan.
5. Setelah terjadi
Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada ‘aam tetap terikat oleh dalil áam.
Adapun Bada’, menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah
Azh-Zhuhur ba’da al Khofa’ ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini
tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 : 33. dan nyatalah
bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka
diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada’ yang lain adalah “nasy’ah ra’yin jaded lam yaku maujud”
(munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun
tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:[12]
Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah
melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai
sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka
memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan
orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat
jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada’ , timbulnya hokum yang baru
disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya
hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama
yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak
zaman azali, sebelum hokum-hukum itu diturunkan kepada manusia.[13]
D. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin kami soroti dalam bagian ini ialah adanya
naskh antara satu syari’at dengan syari’at lainnya. Ini terjadi sebagaimana
dapat kita amati antara syari’at Nabi Isa as. dengan syari’at hukum agama
Yahudi yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana
kita mengikrarkan Islam sebagai syari’at, dengan sendirinya kita mengaku adanya
naskh, karena syari’at-syari’at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua
hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali
oleh syari’at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh antar syari’at itu merupakan salah satu
jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum,
sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/
negara lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda
dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal
kedaulatan, hokum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan
kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan
lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari’at, apakah
didalam satu syari’at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan
hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari’at Islam sendiri, kita akan
menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait
al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain:
keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram([14]). Ini berarti terjadi
nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang
semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka’at. Ini juga berarti telah
terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang
ibadat. Sedangkan di bidang mu’amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus,
misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang
(‘iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun([15]). Beberapa waktu
kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10
hari([16]). Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan
hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang
terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari’at Islam.
Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir
masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. Hal seperti ini,
\jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan
banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang
atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi,
kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal
nasikh-mansukh antara al-Qur’an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu
ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur’an dengan lain ayat yang juga
memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadits
yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak
diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang
memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits yang juga memuat
ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak
diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah
adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur’an dengan Hadits/Sunnah. Jika
disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa
faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki al-Qur’an dan Sunnah dalam syari’at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur’an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam
nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan
sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan
pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan
hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hokum lainnya yang lebih rendah
tingkatannya.
Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi factor
pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat
bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang
mungkin terjadi pada syari’at. Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas,
menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada
yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat
sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat.
Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas([17]). Ini contoh
dari al-Qur’an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hokum ziarah kubur.
Didalam hadits disebutkan, “Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur.
Sekarang lakukanlah!”([18]). Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang
bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang
mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan
yang mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum
syari’at.
E. KEDUDUKAN NASKH
Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan
bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Karena itu
masalah naskh merupakan techniseterm dengan batasan pengertian yang baku. Dalam
kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan
naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)([19]).
Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan dengan hal-hal yang menyangkut
jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari segi formalnya
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari segi
materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada
akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah
satu interpretasi hukum.
F. HIRARKI PENGGUNAAN NASKH
Yang menjadi persoalan sekarang, apakah naskh menempati urutan pertama
dalam interpretasi hukum-syari’at? Dalam upaya melakukan interpretasi suatu
peraturan dalam syari’at, baik al-Qur’an maupun Hadits setiap ketentuan hukum
itu harus jelas. Pengertiannya tidak boleh meragukan, supaya kepastian hukumnya
terjamin. Semua segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud
ketentuan hukum itu harus disoroti dan didalami. Misalnya, tentang segi
bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan
ketentuan hukum yang lain. Dalam hal ini harus ada upaya mengawinkan kedua
ketentuan hukum itu (jam’) atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih).
Baik upaya jam’ maupun tarjih sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam
disiplin ilmu Usul Fiqh.
Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi
antara dua ketentuan hukum itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah
dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum
tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan
hukum tersebut. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits,
ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat
akhir dari suatu upaya interpretasi([20]).
G. KAWASAN PENGGUNAAN NASKH
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh mana jangkauan
naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum didalam syari’at ada kemungkinannya
terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa
esensi taklif (beban tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan tidak mungkin
terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur
ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk
masalah berita, karena mustahil Allah berdusta([21]). Sejalan dengan ini Imam
Thabari mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara ayat-ayat al-Qur’an
yang mengubah halal menjadi haram, atau sebaliknya, itu semua hanya menyangkut
perintah dan larangan, sedangkan dalam berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah
semata-mata soal hukum, yang hanya menyangkut perintah dan larangan, dan
merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas, di bidang
ilmu Hukum dapat kita lihat gambarnya pada Hukum Dasar, misalnya Undangundang
Dasar Negara yang tidak dapat dijangkau pencabutan. Adanya pencabutan terhadap
sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan lain untuk menggantikannya
hanya berlaku pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan
naskh. Dengan demikian, dengan mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan,
yaitu:
1. Adanya ketentuan
hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan
bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum
tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau
keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta
kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum
yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh
adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala
kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
H. HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya
al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci
al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun
lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur’an sendiri menjawab,
pentahapan itu untuk pemantapan,([22]) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini
Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga
mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum
itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan
yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq
diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau
pasti akan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang
lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian
manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah
menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan
seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam
alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang
terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa kita
mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari
yang rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan
berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa Arab yang masih
dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu
bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang
tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal
sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang
Maha Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam
proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan
oleh suatu bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang
lebih baik, apakah syari’at kita yang menurut sunnah Allah ditentukan
hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau
disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan
alasan kemanusiaan? Ataukah syari’at-syari’at agama lain yang diubah sendiri
oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama
sekali?([23])
Syari’at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha
Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia
mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman,
sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan
lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur’an yufassir-u ba’dhuhu ba’dha.
Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok
surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri
dan tujuan yang ingin dicapainya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan
2. Ibn Katsir, Tafsir-u ‘l-Qur’an-i ‘l-’Azhim
3. Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh
4. Al-Thusi, Uddat al-Ushul
5. ‘Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah
6. Shihab, Op.cit.,:144
7. Al Zarqani, Op.cit.,:80
8. Subhi ash Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin,
Beirut 1988:271.
9. Badr ad Din Muhammad bin ‘Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi ‘Ulum
al Quran, jilid II:78
10. Imam Muslim, Al-Jami’ al-Shahih
11. Imam Al-Subki, Jam’ al-Jawami’
12. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh
13. Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai’al-Bayan
14. Al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil.
Makalah yang berhubungan :
Makalah Ulumul Qur’an –
Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah
Makalah Ushul Fiqh –
Pengertian Ushul Fiqh dan Objek Kajiannya
Definisi, Isi, Kandungan dan
Pokok Ajaran Al Quran – Materi Ushul Fiqh
Makalah Ulumul Hadits –
Kedudukan Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam
Makalah Ulumul Qur’an –
Asbabun Nuzul
Makalah Perjanjian
Pernikahan/Perkawinan Dalam Islam – Ilmu Fiqih
Makalah Ulumul Hadits –
Pembagian Hadits
Makalah Ulumul Quran –
Qiraat Quran
Makalah Ushul Fiqh – Sejarah
Perkembangan Ushul Fiqh
Mut’ah atau Kawin Kontrak
[Makalah Teknik Penulisan Ilmiah]
Makalah Ulumul Qur’an –
Muhkam dan Mutasyabih
Makalah Ulumul Qur’an –
Asbabun Nuzul
Makalah Ulumul Hadits –
Khabar Mutawatir dan Khabar Ahad
Makalah Fiqih – Mawaris
Gharawai, Musyarakah & Akdariyah
Makalah Fiqih – Pengertian
Muamalat dan Permasalahannya
Pengertian, Dasar, Fungsi, Ruang
Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pengertian, Sejarah dan
Pokok Isi Kandungan Al-Qur’an – Materi Ushul Fiqh
Makalah Ulumul Qur’an –
Aqsamul Qur’an
Makalah Ulumul Qur’an –
I’jaz Al Qur’an
Soal Ujian Semester II
Ulumul Hadits
Hasil pencarian yang masuk di makalah ini :
Makalah Nasikh Mansukh (27)nasikh dan mansukh (16)makalah nasikh dan
mansukh (16)nasikh mansukh (10)materi ulumul quran (10)ILMU NASIKH WA MANSUKH
(9)pengertian mansukh (8)Contoh Nasikh dan Mansukh (6)makalah nasakh (6)nasikh
dan mansukh al-quran (5)ulumul quran nasikh (5)pengertian nasikh mansukh
(5)makalah pokok ajaran al quran (4)contoh nasikh mansukh (4)hikmah keberadaan
nasikh (4)
Nice articel..... thank's
BalasHapus