Rabu, 09 Oktober 2013

Pegadaian sawah



Sebelum masuk ke materi, saya ingin menjelaskan bahwa materi yang akan di bahas berikut ini dikhususkan pada boleh tidaknya pengambilan hasil panen dari sawah yang telah digadaikan oleh pihak yg digadaikan, dan saya mendapatkan beberapa pembahasan tentang penggunaan sawah yang telah digadaikan dan/ pengambilan hasil panen.
Dalam istilah fiqih, gadai dikenal dengan istilah rahn. Bentuknya adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang . Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Dasar transaksi ini adalah firman Allah SWT :
Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ..”.
Selain itu juga ada hadits syarif berikut:
”Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki karena ia telah mengeluarkan biaya nya, kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.”

Hukum Gadai
Gadai secara hukumnya dibolehkan asalkan tidak terkandung unsur-unsur ribawi. Bahkan beberapa kali tercatat Rasulullah SAW mengadaikan harta bendanya.
Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang menggadaikan kambingnya, bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullullah mengizinkan kita mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan itulah yang kemudian dijadikan dasar ijtihad para pakar keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Namun pegadaian yang sering kita saksikan di negeri kita ini banyak yang melanggar aturan syariah. Sehingga hukumnya haram. Sebab prakteknya justru sekedar pembungaan uang atau hutang yang nyata-nyata diharamkan di dalam semua agama samawi.
Misalnya seseorang menggadaikan mobilnya dan mendapatkan uang pinjaman sebesar 50 juta. Uang pinjaman ini adalah hutang yang harus dibayarkan pokok dan bunganya. Dan selama pokok pinjaman itu belum dikembalikan, bunganya tetap terus berkembang. Boleh jadi ke depannya jumlah hutangnya sudah membengkak menjadi 100 juta. Beda gadai ini dengan pinjaman uang biasa adalah pada masalah jaminan, di mana dengan digadaikannya mobil itu, pihak yang memberi pinjaman akan lebih mudah mengeluarkan uang pinjaman. Sebab harga mobil itu sudah pasti lebih mahal dari jumlah pinjaman yang diberikan.
Dalam gadai secara syariah, tidak ada pembungaan uang pinjaman, melainkan biaya penitipan barang. Ketika seseorang menggadaikan mobilnya, maka dia berkewajiban untuk membayar biaya penitipan mobil itu. Dan biaya seperti itu wajar terjadi. Bukankah ketika kita memarkir mobil di sebuah mal, kita diwajibkan untuk membayar ongkos parkir untuk tiap jamnya? Maka ketika seseorang menggadaikan mobil, dia pun pada hakikatnya harus membayar biaya penitipan mobil itu. Biaya penitipan itulah yang jadi keuntungan bagi pihak yang memberi pinjaman hutang.
Perbedaan utama antara gadai syariah dengan gadai yang haram adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah bebas dari bunga, yang ada adalah biaya penitipan barang.
Dalam perkembangannya, gadai yang sesuai syariah ternyata memilki potensi pasar yang besar sehingga di negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat. Bahkan di negeri kita pun sekarang sudah mulai banyak pegadian yang menggunakan sistem syariah, atau dikenal dengan nama Pegadaian Syariah.

          Di masyarakat kita berkembang apa yang disebut gadai sawah. Di mana yang mempunyai sawah menggadaikan sawahnya kepada seseorang dan orang tersebut dapat memanfaatkan sawahnya dengan adanya kesepakatan sebelumnya. Bagaimana hukumnya, haramkah perbuatan ini, atau diperbolehkan oleh agama?.
          Titik pangkal masalah dalam urusan gadai sawah adalah, bolehkah sawah yang digadaikan itu diambil hasilnya oleh pihak yang meminjamkan dana?
          Sebab dalam hukum asalnya, yang namanya gadai adalah transaksi peminjaman uang dengan jaminan berupa harta benda. Jadi sawah itu sebenarnya hanya barang jaminan yang dititipkan, seperti seseorang menitipkan kendaraan pada suatu tempat parkir. Dan karena merupakan barang titipan, seharusnya sawah itu tidak boleh diambil manfaatnya oleh pihak yang diberi titipan.
          Padahal kita tahu bahwa tujuan awal dalam gadai sawah adalah bukan sekedar pinjam uang atau titipan, tetapi untuk mendapatkan hasil panen.
          Maka sederhananya jawaban kami, bahwa ada ulama yang membolehkan sawah itu untuk digarap pihak yang meminjamkah uang, namun umumnya ulama malah mengharamkannya.
          Kalau kita mengikuti pendapat ulama kalangan Al-Hanafiyah, maka sistem gadai sawah seperti ini hukumnya boleh dan tetap berlaku selama salah satu pihak belum membatalkannya. Atau menjadi batal saat pihak pemilik sawah tidak mengizinkan sawahnya digarap.
          Landasan syariah atas kebolehannya itu -menurut ulama Al-Hanafiyah- adalah logika kepemilikan. Bila orang yang memiilki harta itu sudah membolehkannya, maka mengapa harus diharamkan. Bukankah yang berhak untuk mengambil manfaat adalah pemilik harta? Dan kalau pemilik harta sudah memberi izin, kenapa pula harus dilarang?
Jumhur Ulama Mengharamkan
          Sedangkan kalau kita coba telusuri umumnya para ulama selain ulama Al-Hanafiyah, kita akan mendapati banyak sekali ulama yang mengharamkan pihak yang ketitipan harta gadai untuk memanfatkan harta gadai yang sedang dititipkan oleh pemiliknya. Baik dengan izin pemilik apalagi tanpa izinnya.
Biasanya mereka akan berdalil dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini:
"Semua pinjaman yang melaihrkan manfaat, maka hukumnya riba."

          Jumhur ulama, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat, bila ada seorang berhutang uang dengan menggadaikan sawahnya, maka sawah itu tidak boleh diambil manfaatnya. Tidak boleh ditanami dan tidak boleh dipetik hasilnya oleh pihak yang menerima gadai. Baik dengan izin pemilik sawah atau pun tanpa izinnya.
Kerjsama Bagi Hasil
          Selain dengan cara gadai, ada jalan lain yang bisa digunakan yaituakad bagi hasil, atau sering disebut dengan muzara'ah atau musaqah.
          Dalam hal ini, para petani yang tidak punya sawah bisa bekerja sama dengan orang yang punya lahan sawah. Sawah itu lalu digarap oleh petani. Nanti setelah panen, hasilnya bisa dibagi dua dengan adil sesuai dengan kesepakatan di awal.
Sewa Lahan
          Cara lainnya lagi adalah dengan cara sewa lahan. Petani boleh menyewa lahan sawah kepada pemiliknya untuk sekian lama, dan dia membayar sewanya di awal.Atas uang yang telah dia keluarkan itu, dia berhak untuk menanaminya sekehendak hatinya, serta tentunya berhak pula mengambil hasil panennya, seberapa pun besarnya.
Tidak ada istilah bagi hasil panen, karena sawah itu telah disewa penuh untuk sekian tahun dan telah dibayar biaya sewanya. Apakah panen berhasil atau tidak, tidak ada pengaruhnya dalam masalah bayar sewa.

Dikutip dari :
Sumber Hukum Gadai dalam Syariah. : http://assunnah.or.id

1 komentar:

  1. Kabar baik untuk semua orang, SUNSHINE PINJAMAN PERUSAHAAN diberikan pinjaman terjangkau untuk pelanggan tanpa agunan untuk Tahun 2017 dengan rencana sukses.

    Apakah Anda berpikir untuk memulai bisnis Anda sendiri, Anda berada di utang, ini adalah kesempatan Anda untuk mencapai keinginan Anda, karena kami menawarkan pinjaman pribadi, pinjaman bisnis, dan pinjaman perusahaan, dan semua jenis suku bunga kredit dari 2%. terburu-buru sekarang dan menjadi bagian dari program ini.
    (Sunshineloancompany@gmail.com)

    Informasi Peminjam:
    Nama Lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jangka Waktu Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan Pinjaman: _____________
    Nomor Cell Phone: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui e-mail Sunshineloancompany@gmail.com

    (SunshineLoanCompany)

    BalasHapus