Rabu, 09 Oktober 2013

Masa Sebelum Kenabian: Keadaan Alam (Dunia) Ketika Diutusnya Rasulullah


Manusia pada abad ke-6 dan ke-7 masehi hidup dalam kegelapan dan kebodohan, ketika telah tersebar merata paganisme, khurofat, fanatisme kebangsaan, rasialisme dan kesenjangan antara tingkatan kehidupan manusia dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan politik serta penyimpangan-penyimpangan yang sangat jauh dari fitrahnya mereka. Kemudian semua pemikiran dan ajaran yang membawa kepada perbaikan manusia baik yang datang dari para Nabi dan Rasul yang diturunkan kepada mereka ataupun dari para tokoh cendekiawan dan ahli hikmah yang masih berada di atas fitrahnya yang benar telah tersimpangkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan mereka, sehingga benar-benar mereka menjadi masyarakat yang rusak dan jauh dari kebenaran, kecuali ada di sana sekelompok ahli kitab yang masih berpegang teguh dengan agama mereka yang benar dan belum tersimpangkan.
Hal ini digambarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya Allah melihat kepada penduduk bumi lalu merka kepada mereka baik Arab atau Ajamnya kecuali sebagian kecil ahli kitab.” (Hadits Riwayat Muslim dalam Shohih-nya, kitab Al Jannah Wa Sifat Na’imiha, hadits no. 5109)
Jaziroh Arab dan Bangsa Arab Sebelum Islam
Siroh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lepas dari tempat dan bangsa yang hidup bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga perlu digambarkan terlebih dahulu keadaan jazirah Arab sebagai tempat diutusnya beliau dan bangsa Arab sebelum Islam dan perkembangannya sebagai satu kaum yang Allah ‘azza wa jalla persiapkan untuk menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali.
Arab dan Letak Geografisnya
Arab secara etimologi berarti padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tidak ada air dan tanaman. Sebutan ini telah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab.
Adapun letak geografisnya, jazirah Arab dibatasi oleh laut merah dan gurun Sinai di sebelah barat, teluk Arab dan sebagian besar negara Irak bagian selatan di sebelah timur, laut Arab yang bersambung dengan samudra Hindia di sebelah selatan, negeri Syam dan sebagian kecil dari negeri Irak di sebelah utara, dan luas jazirah Arab diperkirakan membentang antara 1.000.000 mil2 sampai 1.001.300 mil2.
Jazirah Arab memiliki arti penting yang besar, karena letak geologis dan geografisnya, sedangkan dilihat dari kondisi internalnya, jazirah Arab hanya dikelilingi oleh gurun dan pasir dari segala sudut, oleh karena itu jadilah dia sebuah benteng yang kokoh yang mencegah masuknya orang asing yang ingin menjajahnya, dan ini menyebabkan mereka bisa hidup merdeka dan bebas dari segala urusan sejak dahulu kala, padahal mereka bertetangga dengan dua imperium besar yang tidaklah mereka mampu menahan serangannya andaikan tidak ada benteng pertahanan yang kokoh ini
Adapun dilihat dari kondisi hubungan eksternal,maka jazirah Arab terletak diantar benua-benua yang terkenal dalam dunia lama, dan dia mempertemukan benua-benua tersebut daratan ataupun lautan, karena sebelah barat laut merupakan pintu masuk benua Afrika, dan sebelah timur laut merupakan kunci masuk benua Eropa, dan sebelah timur merupakan pintu masuk bangsa-bangsa A’jam (Non Arab), timur tengah dan timur dekat, dan terus membentang ke India dan Cina, demikianlah jazirah Arab merupakan tempat pertemuan laut antar benua, sehingga menjadi bandara yang ramai.
Kaum-kaum Bangsa Arab
Para ahli sejarah membagi bangsa Arab ditilik dari asal muasalnya menjadi 3 bagian, yaitu:
  1. Arab Baa’idah, yaitu bangsa Arab Kuno, yang sukar untuk diketahui perincian sejarahnya, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Jadis dan ‘Amlaaq.
  2. Arab ‘Aaribah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Ya’rib bin Yasyjab bin Qohthon, yang dikenal dengan Arab Qohthoniyah.
  3. Arab Musta’robah, yaitu bangsa Arab yang berasal dari keturunan Isma’il bin Ibrahim, yang dikenal dengan Arab Adnaniyah.
Sedangkan Arab ‘Aaribah atau bangsa Qahthon tempat asalnya adalah Yaman, lalu berkembang menjadi kabilah-kabilah yang banyak, dan di antara yang terkenal adalah:
Pertama, Himyar, dan dari suku-sukunya yang terkenal: Zaid Al Jumhur, Qadho’ah dan As Sakaasik.
Kedua, Kahlan, dan di antara suku-sukunya yang terkenal: Hamdaan, Anmaar, Thoi, Madzhaj, Kindah, Lakhm, Jidzaam, Al Azd, Al Aus, Al Khodzroj dan anak turunan jafnah penguasa-penguasa Syam.
Suku-suku dari kabilah kahlan berhijroh dari Yaman dan tersebar di Jazirah Arab, dan kebanyakan hijrah mereka terjadi sebelum terjadinya banjir (sail arim) ketika mereka gagal dalam perdagangannya, karena tekanan dari Romawi dan penguasaan mereka terhadap jalur-jalur perdagangan laut serta pengrusakan (bangsa Romawi) jalan-jalan darat setelah mereka menguasai negeri Mesir dan Syam. Apalagi tidak tertutup kemungkinan adanya persaingan yang keras antara kabilah Kahlan dengan Himyar yang menyebabkan hijrohnya Kahlan dari Yaman. (Disarikan dari kitab Rahiiqul Makhtum oleh Shofiyur Rohman Al Mubarokfury hal. 15-16).
Jazirah Arab Sebelum Islam
1. Mekkah
Letak Kota Mekkah
Kota Mekkah terletak di perut lembah,yang dikelilingi oleh bukit-bukit dari segala arah, dari sebelah timur membentang bukit Abu Qubais (Jabal Abu Qubais) dan dari barat dibatasi oleh dua bukit (gunung) Qa’aiqa’ dan keduanya berbentuk bulan sabit mengelilingi perkampungan Mekkah. Dan dikenal bagian yang rendah dari lembah tersebut dengan Al-Bathhaa’ yang ada padanya Ka’bah dan dikelilingi oleh rumah-rumah orang Quraisy, sedangkan bagian yang tinggi dikenal dengan Al-Mu’alaah dan pada bagian ujung-ujung kedua bukit yang berbentuk bulan sabit tersebut dibangun rumah-rumah sederhana milik orang Quraisy Dzawaahir yaitu orang-orang pedalaman (A’rob) Quraisy yang miskin dan merupakan serdadu-serdadu perang, akan tetapi mereka ini di bawah kaum Quraisy Bathhaa’ (yang tinggal di bathhaa’) dalam kebudayaan, kekayaan dan martabatnya. (Lihat As Siroh An Nabawiyah As Shahihah oleh Akrom Dhiya’ Al Umary hal: 1/77)
Perkembangan Kota Mekkah
(Disarikan dari kitab As Siroh An Nabawiyah Fi Dhou’i Al Mashodir Al Ashliyah oleh Mahdi Rizqullah Ahmad hal 47-50 dan Rohiqul Makhtum 29-34)
Sejarah perkembangan kota Mekkah berawal dari hijrohnya Ibrahim dari Irak ke Syam, kemudian dari Syam ke Mesir dengan membawa risalah tauhid dan beliau ditemani oleh istrinya yang setia lagi cantik jelita Saarah.
Di Mesir terdapat seorang raja yang sangat rakus terhadap wanita cantik, sehingga tidak ada seorang wanita cantik yang masuk Mesir kecuali dia akan mengambilnya, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki keselamatan Saarah dari kerakusan sang raja, sehingga akhirnya sang raja menghadiahkannya seorang wanita untuk membantunya yang bernama Haajar (Lihat Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori oleh Ibnu Hajar13/134-135), dan ketika Ibrahim telah memasuki usia senja dan rambutnya telah memutih, sedangkan Saarah mandul, maka Saarah menghadiahkan Haajar kepada suaminya agar dinikahi, dengan harapan mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keturunan yang sholih untuknya, dan dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala lahirlah seorang anak dari Haajar yang diberi nama Isma’il (Lihat Akhbar Makkah 1/54, dengan sanad yang lemah). Kemudian hal itu membuat Saraah cemburu, hingga bersumpah akan memotong-motong Haajar menjadi tiga bagian (Lihat Fathul Bari 13/134-135), lalu Haajar lari bersama suami dan anaknya yang masih menyusui, sampai berada di suatu tempat yang didirikan padanya Ka’bah (Mekkah), di tenda di atas Zam-zam, dan tidak ada seorang pun di Mekkah ketika itu, dan tidak ada juga air padanya, lalu Ibrahim memberikan bekal satu kantung kulit yang berisi kurma dan satu kantung air yang berisi air minum, lalu beliau pergi meninggalkan Haajar, lalu Haajar mengikutinya, dan berkata: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau pergi, dan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia pun dan tidak ada jua yang lain?” dan dia mengulangi pertanyaannya tersebut berkali-kali, dan Ibrahim tidak menoleh kepadanya sedikit pun, sampai berkata Hajar, “Apakah Allah subhanahu wa ta’ala yang memerintahkan engkau berbuat demikian?” Ibrahim menjawab: “benar”, lalu berkata Hajar, “Kalau begitu Allah tidak akan membiarkan kami!” kemudian Haajar pulang kembali ke tempatnya. lalu pergilah Ibrahim, sesampainya dia di Ats-Tsaniyah, dia menghadapkan wajahnya ke tempat Ka’bah, kemudian berdo’a:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Robb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Tidak lama kemudian habislah perbekalan air yang dimiliki Haajar, lalu mereka berdua kehausan, lalu beliau tidak ingin melihat anaknya yang sedang dalam keadaan kehausan, maka dia berjalan sampai tegak berdiri di atas bukit yang paling dekat darinya, yaitu Shofa, kemudian menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang yang lewat, ketika tidak melihat seorang pun, dia turun dari Shofa hingga jika sampai lembah beliau mengangkat ujung pakaiannya kemudian berlari kencang sampai melewati lembah tersebut, kemudian dia menaiki bukit Marwa kemudian menghadap ke lembah untuk melihat apakah ada orang yang lewat, dan tidak melihat seorang pun, lalu dia melakukannya tujuh kali dan pada akhir yang ketujuh datanglah Jibril dan mulai mencari dengan tumitnya atau dengan sayapnya tempat Zamzam, sampai tampak airnya, kemudian Haajar langsung mengeruknya dan mengambil airnya dengan kedua telapak tangannya untuk minum dan zam-zam tersebut berceceran setelah diambil oleh Haajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يرحم الله أم إسماعيل لولا أنها عجلت لكان زمزم عينا معينا
“Semoga Allah merahmati Ummu Isma’il, kalaulah tidak tergesa-gesa maka niscaya Zam zam menjadi sumber air yang mengalir.” (HSR Bukhory, lihat Fathul Bari 13/140, no. 3362).
Lalu Haajar minum dan menyusui anaknya Isma’il.
Dalam keadaan yang seperti ini, lewatlah sekelompok orang dari kabilah Jurhum dari Yaman dari Arab Qohthoniyah, ketika mereka mendapatkan air tersebut, maka mereka meminta izin kepada Haajar untuk diperbolehkan tinggal menetap bersamanya, maka Haajar mengizinkan mereka, lalu mereka memanggil keluarga mereka agar supaya menetap di Mekkah dan mereka pun tinggal di Mekkah dan Ismail tumbuh menjadi pemuda di antara mereka. Dan belajar bahasa Arab dari mereka kemudian setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari mereka.
Kemudian Ibrahim ke Mekkah setelah meninggalnya Haajar, akan tetapi tidak mendapatkan Ismail di rumahnya, dan istri Ismail menceritakan bahwa Ismail sedang keluar untuk satu keperluan, dan ketika beliau menanyakan tentang kehidupannya, mengadulah istri Ismail akan pahitnya kehidupan yang mereka berdua hadapi dari kesulitan dan kemiskinan, lalu Ibrahim mewasiatkan agar menyampaikan salam kepada Ismail dan mengatakan supaya dia mengubah ambang pintu rumahnya. Ketika Ismail pulang, istrinya menceritakan apa yang telah terjadi dan Ismail mengetahui bahwa itu adalah bapaknya dan faham maksud pesan-pesan bapaknya, lalu beliau menceraikan istrinya tersebut dan menikah lagi dengan wanita lain. Dan agak lama kemudian Ibrahim mengunjungi anaknya di Mekkah dan tidak mendapatkan Ismail di rumahnya, lalu Ibrahim bertanya kepada istrinya tentang kehidupan mereka berdua, lalu dia memuji dan memuja Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan yang diberikan kepada keduanya dari keluasan rezeki. Kemudian Ibrahim berwasiat agar menyampaikan salam kepada Ismail dan mengatakan supaya dia menetapkan ambang pintu rumahnya. Ketika Ismail datang, maka istrinya pun menceritakan apa yang telah terjadi dan mengertilah Ismail itu adalah bapaknya dan mengerti pula pesan-pesannya.
Kemudian sekian lama Ibrahim tidak mengunjungi Mekkah, lalu kembali mengunjungi anaknya Ismail dan mendapatkan anaknya di belakang zamzam sedang memperbaiki panahnya di bawah tenda yang besar dekat dengan zam-zam, dan ketika beliau melihatnya, maka Ismail menyambut bapaknya sebagaimana layaknya seorang anak yang telah sangat lama tidak berjumpa dengan bapaknya dan demikian juga Ibrahim bersikap seperti itu. Lalu Ibrahim meminta anaknya Ismail untuk membantunya melaksanakan perintah Allah yaitu membangun Ka’bah di tempat yang agak tinggi di dekat zamzam, maka waktu itu Ibrahim yang membangunnya dan Ismail yang membantu membawakan batu-batunya kepada bapaknya sampai meninggi bangunan tersebut, lalu beliau membawakan batu Maqom untuk berpijak bagi Ibrahim, dan berpijaklah Ibrahim padanya, kemudian keduanya berdo’a:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Ya Robb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 127)
Dan ketika selesai keduanya dari membangun Ka’bah, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia melaksanakan haji, dengan firman-Nya:
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al Hajj: 27)
Diriwayatkan bahwa Ibrahim mendaki bukit Abi Qubais atau Al Hijr atau Ash Shofa dan memanggil dengan nama Allah sambil berkata, “Wahai manusia! sesungguhnya Robb kalian telah membangun untuk kalian rumah, maka berhajilah kepadanya.” Lalu Allah memperdengarkan panggilannya kepada semua makhluk dan siapa yang Allah telah mudahkan untuk berhaji sampai hari kiamat akan menjawab panggilan tersebut dengan mengatakan:
لبيك اللهم لبيك
“Saya terima panggilan Engkau wahai Allah, saya terima panggilan Engkau.”
Demikianlah Ismail hidup berdampingan dengan Ka’bah bersama keluarga mertuanya yaitu Jurhum sampai Allah utus beliau sebagi Rasul untuk mereka dan seluruh Hijaz dari kabilah ‘amaliq dan Ahli Yaman (Lihat Al Bidayah oleh Ibnu Katsir 1/209 dengan tanpa sanad).
Allah berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولاً نَّبِيّاً
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. 19:54)
Dari perkawinan Ismail dengan putrinya Mudhoodh lahirlah dua belas putra yaitu, Naabit atau Nabaayut, Qaidaar, Adbaa’iil, Mabsyaam, Masymaa’, Dumaa, Misyaa, Hadad, Yatma, Yathur dan Nafiis serta Qaidamaan. Dari mereka inilah kemudian berkembang anak turunan Ismail menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekkah dengan mata pencahariannya adalah berdagang dari negeri-negeri Yaman sampai negeri Syam dan Mesir. Akan tetapi dari anak turunan Ismail ini hanya Naabit dan Qaidaar lah yang masih dapat terdeteksi sejarahnya.
Naabit (Dirojihkan oleh pengarang kitab As Siroh An Nabawiah fi Dhui Mashodir Ashliyah dan Shofiyur Rohman Al Mubarokfury merojihkan bahwa yang mendapat kemuliaan ini adalah Qaidzar) yang merupakan anak Isma’il yang Allah pilih untuk menjadi bapak yang akan menurunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kelak di kemudian hari, akan tetapi silsilah nasab antara dia dengan Adnan itu tidak dapat di pastikan keakuratannya. Dan Rasulullah telah menetapkan nasab beliau sampai Adnan saja, adapun nasab Adnan sampai Isma’il masih dalam perselisihan para ulama.
Ketika Isma’il meninggal, beliau dimakamkan di sisi ibunya, umur beliau pada saat itu 137 tahun, dan seluruh Arab Hijaz berintisab kepada Qaidzar dan Naabit (Al Bidayah 1/210).
Adnan adalah kakek yang ke dua puluh satu dari silsilah nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian lahir dari beliau Ma’ad dan dari Ma’ad Nizar, lalu Nizar memiliki empat orang anak, yang kemudian berkembang menjadi empat kabilah besar yaitu: Iyad, Anmar, Rabi’ah dan Mudhor, dan dari dua kabilah besar yang terakhir inilah lahir banyak marga dan suku-suku, dari Rabi’ah ada Asad, Anzah, Abdul Qais, Wail dan dua anaknya Bakr dan Taghlib, Hanifah dan lain-lainnya.
Sedangkan kabilah Mudhor berkembang menjadi dua masyarakat yang besar yaitu, Qais ‘Ailaan bin Mudhor dan Marga-marga Ilyas bin Mudhor. Dari Qais ‘Ailaan ada Bani Saliim, Bani Hawaazin, Bani Ghothofan, dan dari Ghothofan ada ‘Abs, Dzibyaan, Asyja’ dan Ghony bin A’shar. Dan dari Ilyas bin Mudhor ada Amim bin Murroh, Hudzai bin Mudrikah,Bani Asad bin Khuzaimah dan marga-marga Kinanah bin Khudzaimah, dan dari Kinanah ada Quraisy yaitu anak turunan Fihr bin Maalik bin Nadhor bin Kinanah.
Quraisy terbagi menjadi beberapa kabilah,yang terkenal adalah Jumah, Sahm, Ady, Makhzum, Taim, Zahroh dan suku-suku Qushay bin Kilab, yaitu Abdud-Dar bin Qushay, Asad bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdi Manaf bin Qushay. Abdi Manaf memiliki empat anak yaitu, Abdis Syams, Naufal, Al Muthalib dan Hasyim. Dan Hasyim adalah keluarga yang dipilih Allah untuk lahir darinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda:
إن الله اصطفى من ولد إبراهيم إسماعيل واصطفى من ولد إسماعيل كنانة و اصطفى من بني كنانة قريشا و اصطفى من قريش بني هاشم و اصطفاني من بني هاشم.
“Sesungguhnya Allah memilih Ismail dari anak Ibrahim dan memilih Kinanah dari anak Ismail dan memilih Quraisy dari bani Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim.” (HSR Muslim dan At Tirmidzy)
Telah kita ketahui bahwa asal penduduk Mekkah adalah bangsa Jurhum, yang tinggal bersama Haajar dan Isma’il dan mereka memerintah Mekkah setelah Isma’il, akan tetapi mereka tidak dapat menjaga kehormatan kota suci tersebut, maka tersebarlah kejahatan dan kerusakan padanya dan banyak di antara mereka yang merampok harta Ka’bah. Ketika sebagian bangsa Arab Yaman berpencar-pencar setelah terjadi bencana banjir yang dahsyat yang dikenal dengan nama Sailil Arim, berhijrahlah Tsa’labah bin ‘Amr bin ‘Aamir bersama kaumnya ke Mekkah akan tetapi mereka ditolak oleh Jurhum, maka terjadilah pertempuran yang sengit di antara mereka dan diakhiri dengan kekalahan Jurhum. Dan akhirnya mereka menetap di Mekkah.
Ketika Tsa’labah sakit dia pindah ke Syam, dan yang memerintah Mekkah dan menjaga Ka’bah adalah saudaranya yaitu Rabi’ah bin Haaritsah bin ‘Amr yang terkenal dengan Luhay, dan dikenal kaumnya dengan nama Khuzaa’ah, dan bergabung bersama mereka anak turunan Isma’il bin Ibrahim yang mereka itu tidak ikut dalam pertempuran dengan Jurhum.
Berkuasa Khuzaa’ah di Mekkah sekitar 300 tahun dan pada masa mereka inilah terjadi awal penyembahan berhala di Hijaz, dengan sebab pemimpin mereka ‘Amr bin Luhay (Imam Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya, “Aku telah melihat ‘Amr bin Luhay menarik-narik ususnya di neraka.” (Lihat Shohih Muslim 4/21911, no: 2856). Ketika mengunjungi Syam menjumpai ‘Amaliq di Mu’ab satu tempat dari negeri Al Balqa’ menyembah berhala dan mereka berkata kepadanya bahwa mereka menyembah berhala-berhala itu karena mereka meminta hujan kepadanya maka dia turunkan hujan, mereka meminta pertolongan maka dia menolong mereka, lalu dia meminta sebuah berhala dari mereka dan mereka memberikannya berhala Hubal, kemudian ‘Amr bin Luhay membawanya ke Mekkah dan memerintahkan manusia untuk menyembahnya dan mengeramatkannya, dan mereka pun menaatinya lantaran ‘Amr bin Luhay adalah pemimpin mereka yang mereka taati. Dan dari sinilah penduduk Mekkah mulai mengenal penyembahan berhala dan akhirnya merebak dan menjadi suatu pemahaman agama yang sangat kuat pada mereka. Dan ketika anak turunan Ismail menyebar ke negeri-negeri mereka membawa batu-batu Mekkah untuk mereka keramatkan, di mana mereka tinggal mereka letakkan dan mereka thowafi seperti mereka thowaf di Ka’bah sampai akhirnya mereka menyembah semua batu-batuan yang mereka sukai dan kagumi,kemudian terjadi pergantian generasi dan mereka lupa dengan agama nenek moyang mereka Ibrahim ‘alaihi salam (Lihat Al Bidayah 2/205).
Pada masa kekuasaan Khuza’ah ini, kaum Quraisy masih berpecah-pecah sampai dipimpin oleh Qushay bin Kilaab dan beliau berhasil menyatukan kaum Quraisy dan memerangi Khuzaa’ah dengan dibantu oleh Qudhaa’ah dalam merebut kekuasaan Ka’bah dan bangsa Arab yang lainnya pun ikut intervensi dalam permasalahan ini, sampai akhirnya terjadi peradilan dan dimenangkan oleh Qushay bin Kilaab. Dari sinilah terangkat kedudukan kaum Quraisy di antara bangsa Arab. (Al Azraaq, Akhbar Makkah 1/103-107).
Berkata Al Mubarokfury: “Tentang diri Qushay ini dikisahkan bahwa bapaknya meninggal dunia saat beliau masih kecil dalam asuhan ibunya. Lalu ibunya kawin lagi dengan seorang laki-laki dari bani Udzrah, yaitu Rabi’ah bin Haraam, yang kemudian membawanya ke perbatasan Syam. Setelah Qushay menginjak remaja, dia kembali ke Mekkah, yang saat itu dipimpin oleh Hualil bin Hubsyah dari bani Khuzaa’ah, lalu Qushay melamar putri Hulail yang bernama Hubba dan ternyata lamarannya diterima dengan baik olehnya. Maka dia menikah dengan putri Hulail. Setelah Hulail meninggal, terjadi peperangan antara Khuza’ah dengan Quraisy, yang akhirnya membawa Qushay menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Baitul Haram. Ada tiga riwayat yang menjelaskan sebab meletusnya peperangan ini, yaitu:
Pertama, Setelah Qushay mempunyai banyak anak dan hartanya pun berlimpah ruah, bersamaan dengan itu Hulail meninggal dunia, maka dia merasa bahwa dialah yang lebih berhak berkuasa di Mekkah dan menangani urusan Ka’bah dari pada Bani Khuzaa’ah dan Bani Bakr, sedangkan Quraisy adalah pemimpin dan pelopor anak keturunan Isma’il. Maka dia melobi pemuka-pemuka Quraisy dan Bani Kinanah agar mengusir bani Khuzaa’ah dan bani Bakr, lalu mereka menerima hal tersebut.
Kedua, Sesungguhnya Hulail -menurut pengakuan Khuzaa’ah- telah mewasiatkan kepada Qushay untuk menangani urusan Ka’bah dan Mekkah.
Ketiga, sebenarnya Hulail telah menunjuk putrinya Hubba sebagai pemegang urusan Ka’bah, dan Abu Ghibsyaan Al Khuza’y sebagai wakilnya, lalu Abu Ghibsyaan melaksanakan tugas pemeliharaan Ka’bah sebagai wakil dari Hubba. Ketika Hulail meninggal dunia, Qushay membeli kewenangan mengurus Ka’bah dari Abu Ghibsyaan dengan satu kendi besar khamar (Arak) dan Bani Khuzaa’ah tidak menerima jual beli tersebut dan berusaha mencegah Qushay dari kekuasaan mengurus Ka’bah, lalu Qushay mengumpulkan pemuka-pemuka Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir mereka dari Mekkah dan mereka menyetujuinya.” (Rahiqul Makhtum hal. 29-30).
Apapun sebabnya, yang jelas setelah meninggalnya Hulail terjadi pertempuran antara Khuza’ah dengan Quraisy, yang akhirnya membawa Qushay menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Baitul Haram, setelah melalui pertumpahan darah dari kedua kelompok. Dikisahkan bahwa mereka mengangkat Ya’mar bin Auf dari bani Bakr sebagai hakim untuk mendamaikan mereka dan dia menetapkan bahwa Qushay lah orang yang berhak untuk menangani urusan Ka’bah dan berkuasa atas Mekkah.
Qushay berkuasa di Mekkah dan menangani Ka’bah pada pertengahan abad kelima Masehi, tepatnya pada tahun 440 M. Lalu dia menjadikan Mekkah sebagai pemukiman kaum Quraisy dan tinggallah semua suku dari kaum Quraisy serta didirikan rumah-rumah mereka di Mekkah. Dan mengaturnya serta membangun Darun Nadwah di sebelah utara Ka’bah yang dijadikan sebagai tempat pertemuan orang-orang Quraisy untuk membicarakan masalah-masalah penting mereka. Kemudian dia memiliki kepemimpinan yang utuh dalam pengaturan kota Mekkah dan dalam masalah agama, sehingga dia menjadi pemimpin agama di Baitul-harom,yang menjadi tujuan kedatangan semua bangsa Arab dari segala penjuru. Dengan demikian Qushay telah memimpin beberapa jabatan dan wewenang yaitu:
Pertama, sebagai pemimpin di Darun Nadwah. Di tempat ini para pemimpin Quraisy mengadakan musyawarah untuk membicarakan dan memecahkan masalah-masalah penting yang mereka hadapi dan juga untuk menikahkan anak-anak putri mereka.
Kedua, sebagai pemegang panji atau bendera perang (liwa’).
Ketiga, sebagai pemegang jabatan Hijabah (wewenang menjaga pintu Ka’bah),maka tidak ada seorang pun yang boleh membuka pintu Ka’bah kecuali dia.
Keempat, sebagai pemberi minum orang-orang yang menunaikan haji (Saqaaah).
Kelima, sebagai penerima dan penjamu orang-orang yang menunaikan haji (Rifaadatul Hajj).
Ketika menginjak usia tua, Qushay menyerahkan semua urusan kewenangan dan kepemimpinan kepada anaknya yang tertua Abdud-Dar. Di masa hidupnya semua perbuatan Qushay tidak pernah ditentang dan dibantah, demikian juga setelah matinya, sehingga semua itu seperti layaknya agama yang harus diikuti oleh kaum Quraisy sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan ketinggian martabatnya.
Setelah meninggalnya Qushay, segala tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan oleh anak-anaknya tanpa ada perselisihan sedikit pun,akan tetapi setelah meninggalnya Abdud-Dar dan saudara-saudaranya yaitu Abdi Manaf, Abdi Syams, Abdul ‘Uza, terjadi perselisihan dan perseteruan di antara anak-anak mereka, kemudian pecah menjadi dua kelompok, kelompok pertama membela bani Abdu Dar dan yang lain membela bani Abdu Manaf. Lalu kelompok pembela bani Abdu Manaf bersumpah setia dengan memasukkan tangan mereka ke bejana yang berisi minyak wangi, kemudian tangan-tangan tersebut mengusap rukun-rukun Ka’bah, maka mereka disebut Hilpul Muthibiin. Sedangkan bani Abdu Dar dan pendukung-pendukungnya, mereka mengeluarkan bejana yang penuh berisi darah, lalu mereka melakukan apa yang telah dilakukan bani Abdu Manaf dan pendukung-pendukungnya, maka mereka dinamakan Al Ahlaaf. Kemudian akhirnya kekuasaan dibagi-bagi, bani Abdu Manaf mendapat kekuasaan atas Saqayah, Rifadah dan Qiyadah, sedangkan yang lainnya untuk bani Abdu Dar. Kekuasaan-kekuasaan ini terus dipegang mereka turun-temurun hingga datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pembangunan Kabah
Ka’bah merupakan tempat tertinggi dan terhormat bagi kaum muslimin baik kaya atau miskin,pribadi atau masyarakat dan di mana saja mereka berada sehingga sepanjang sejarah Islam Ka’bah ini terpelihara kesuciaan dan kehormatannya dan tetap menjadi pusat perhatian para pelayannya. Adapun riwayat-riwayat dalam buku-buku sejarah dan siroh yang mengungkap tentang pembangunan dan pemeliharaan Ka’bah walaupun sebagian riwayat-riwayat tersebut tidak otentik ditinjau dari sudut periwayatannya telah memberikan penjelasan bahwa telah terjadi beberapa kali pembangunan dan pendirian Ka’bah, yaitu:
Pertama, pembangunan dan pemeliharaan para malaikat sebagaimana yang diriwayatkan Al Azrooqy (Akhbaru Makkah dan lihat As Suhaily dalam Raudhul Unfi 1/222-223 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/144 serta Al Baihaqy dalam Ad Dalail 2/44)
Kedua, pembangunan dan pemeliharaan Adam sebagaimana yang diriwayatkan Al Baihaqy (Ad Dalail, lihat Fathul Bari 13/144) dan yang lainnya (lihat As Siroh Asy Syamiyah 1/171 dan berkata penulisnya: “Telah meriwayatkannya Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir Ath Thobary secara mauquf dan Al Azrooqy, Abu Syaikh dalam Al Adzomah dan Ibnu Asaakir dari Ibnu Abbas”, dan lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/259).
Ketiga, pembangunan dan pemeliharaan anak-anak Adam sebagaimana yang diriwayatkan Al Azrooqy (Akhbar Makah 1/8) dan yang lainnya (lihat As Siroh Asy Syamiyah 1/172) dari Wahb bin Munabih,dan menurut As Suhaily yang membangun adalah Syits bin Adam (Lihat Raudhu Unfi 1/221).
Keempat, pembangunan dan pemeliharaan Ibrahim dan anaknya Ismail. Hal ini dijelaskan Al Quran dan hadits-hadits bahkan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa Ibrahim dan Ismail lah orang pertama yang mendirikan dan membangun Ka’bah walaupun tempat Ka’bah yaitu satu dataran yang tinggi lagi menonjol dari sekitarnya telah dikenal para malaikat dan para Nabi sebelum Ibrahim dan dia adalah tempat yang ditinggikan dan diagungkan dari zaman terdahulu sampai datangnya Ibrahim dan membangun fondasi serta bangunannya bersama anaknya Ismail. Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelumnya hampir semuanya mauquf kepada para sahabat atau tabi’in dan hanya diriwayatkan oleh ahli sejarah dan Siroh seperti Al Azroqy, Al Fakihany dan sebagian ahli tafsir dan ahli hadits yang mereka itu tidak berpegang teguh dalam meriwayatkannya syarat-syarat keotentikannya, sehingga berkata Ibnu Katsir setelah memastikan bahwa Ibrahim dan Ismail lah orang pertama yang membangun Ka’bah: “Dan tidak ada satu pun khobar (riwayat) yang absah (otentik) dari Al Ma’shum (Nabi) yang menjelaskan bahwa Ka’bah telah dibangun sebelum Al Kholil (yaitu Ibrahim -pen).” (Bidayah wan Nihayah 1/178).
Berkata Abu Syuhbah setelah merojihkan pendapat Ibnu Katsir: “Tidaklah apa yang telah kami rojihkan dan ambil sebagai pendapat kami bertentangan dengan riwayat yang mengatakan bahwa tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah berhaji ke Baitullah (Ka’bah) dan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dengan sanad kepada Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Rasulullah telah berhaji, ketika sampai di wadi asfaan, beliau berkata: ‘Wahai abu bakar wadi apa ini?’ Berkata Abu Bakar ‘Ini adalah wadi asfaan,’ kemudian beliau berkata: ‘Sungguh telah melewati wadi ini Nuh, Hud dan Ibrahim di atas onta-onta merah mereka yang dikendalikan dengan tali kekang dan sarung-sarung mereka dari Aba’ dan selendang-selendang mereka dari nimaar berhaji ke Al Bait Al Atiiq (Ka’bah).’”
Dan apa yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad kepada Ibnu Abbas beliau berkata:
“Ketika Rasulullah melewati wadi asfaan saat beliau berhaji beliau berkata: ‘Wahai abu bakar wadi apa ini?’ Berkata Abu Bakar: ‘Ini adalah wadi asfaan,’ kemudian beliau berkata: ‘Sungguh telah melewati wadi ini Hud dan Soleh di atas onta-onta merah mereka yang dikendalikan dengan tali kekang dan sarung-sarung mereka dari Aba’ dan selendang-selendang mereka dari nimaar bertalbiah dan berhaji ke Al Bait Al Atiiq (Ka’bah).’” Karena maksudnya adalah berhaji ke tempatnya walaupun belum ada di sana bangunannya.
Kelima dan Keenam, pembangunan bangsa amaaliq dan jurhum sebagaimana yang dinukil oleh As Syami dari riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ishaq bin Rahuyah dalam Musnad-nya, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Baihaqy dalam Ad Dalail dari Ali (lihaat Subul Huda wa Rasyad 1/172).
Berkata As Suhaily: “Dan disebutkan bahwa Ka’bah dibangun di zaman jurhum sekali atau dua kali karena banjir yang telah menghancurkan tembok Ka’bah, dan itu bukan termasuk pembangunanya akan tetapi itu hanyalah perbaikan (pemugaran) dari sesuatu yang ada.” (Raudhu Unfi 1/222).
Ketujuh, pembangunan Qushay bin Kilaab, berkata As Saamy (Subul Huda War Rosyad 1/192), hal itu dinukil oleh Az Zubair bin Bakaar dalam kitab An Nasab dan ditegaskan hal itu oleh Abu Ishaaq Al Mawardy dalam Al Ahkaam As Sulthoniyah hal. 142.
Kedelapan, pembangunan bangsa Quraisy dan tentang hal ini akan dijelaskan secara khusus kemudian.
Kesembilan, pembangunan Abdullah bin Az Zubair, sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhon (Lihat Subul Huda War Rosyad 1/192 Bukhori, Kitab Ilmu dan Muslim 2/968-973/H 1333).
Ketika Ibnu Az Zubair menetapkan rencana pembangunan kembali Ka’bah yang sesuai dengan asas dan bentuk yang telah dibangun Ibrahim dan Ismail sebelum adanya perubahan dari kaum Quraisy, maka beliau sampaikan kepada kaum muslimin yang akhirnya disetujui, dan kaum muslimin langsung ikut serta dalam menghancurkan bangunan Ka’bah yang ada sampai rata dengan tanah lalu mereka mencari asas fondasi bangunan Ka’bah yang dibangun oleh Ibrahim setelah menemuinya, lalu mereka menegakkan tiang-tiang di sekitarnya dan menutupinya dengan penutup dan mulailah mereka membangun dan meninggikan bangunan Ka’bah bersama-sama serta menambah tiga hasta yang telah dikurangi kaum Quraisy dan menambah tinggi Ka’bah sepuluh hasta lalu membuat dua pintu dari arah timur dan barat satu untuk masuk dan yang lain untuk keluar, hal itu sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Syaikhon, yang berbunyi:
يا عائشة لولا أن قومك حديثو عهد بجاهلية لآمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه و ألزقته بالأرض و جعلت له بابا شرقيا و بابا غربيا فبلغت به أساس إبراهيم
“Wahai Aisyah kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliahan sungguh aku perintahkan untuk membangun Ka’bah lalu dihancurkan dan aku masukkan padanya apa yang telah dikeluarkan darinya dan aku akan rendahkan (tempelkan pintunya) dengan tanah serta aku buatkan pintu timur dan barat dan aku sesuaikan dengan asas fondasi Ibrahim.”
Kemudian Al Azraqy (Lihat Tarikh Makkah 1/64) dan Ibnu Hajar (Lihat Fathul Bari) menjelaskan bahwa Ibrahim membangun Ka’bah dengan tinggi 9 hasta, panjang 32 hasta dan lebar 22 hasta tanpa atap penutup. Sedang As Suhaily mengisahkan bahwa tinggi Ka’bah adalah 9 hasta dari zaman Ismail, lalu ketika dibangun Quraisy sebelum islam ditambah 9 hasta, maka menjadi 18 hasta lalu mereka meninggikan pintunya dari tanah sehingga tidak naik kecuali dengan tangga, kemudian ketika dibangun oleh Ibnu Az Zubair maka dia menambah 9 hasta sehingga menjadi 27 hasta dan ini masih sampai sekarang (Lihat Raudhul Unfi 1/221).
Kesepuluh, pembangunan Al Hajaaj bin Yusuf Ats Tsaqafy atas perintah Khalifah Abdul Malik bin Marwan Al Umawy, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim (2/972/H 1333/402) hal itu terjadi karena keraguan Abdul Malik terhadap pendengaran Abdullah bin Az Zubaair dari Aisyah hadits Rasulullah:
“Kalau bukan karena kaum mu yang baru dari kejahiliahan atau berkata kekufuran sungguh aku akan hancurkannya (Ka’bah) dan menjadikan untuknya pintu dan aku tempelkan pintunya ke tanah serta aku masukkah padanya hijir ismail.”
Kemudian Al Haarits bin abdullah bin Abi Robi’ah menguatkan dan membenarkan pendengaran Abdullah bin Az Zubair di hadapan Abdul Malik, maka kemudian beliau menyesal akan penghancuran bangunan Ka’bah yang telah dibangun Abdullah bin Az Zubair dan pembangunannya kembali sebagaimana yang ada sebelumnya. (Muslim 2/972/H1333/403).
Demikian juga diriwayatkan bahwa Khalifah Harun Ar Rosyid telah berencana untuk menghancurkan Ka’bah dan membangunnya kembali sebagaimana bangunan Abdullah bin Az Zubair, akan tetapi Imam Malik bin Anas berkata kepadanya: “Aku bersumpah demi Allah wahai Amirul Mukminin janganlah kamu menjadikan Ka’bah ini sebagai permainan para raja setelah engkau sehingga tidaklah seorang dari mereka yang ingin merubahnya kecuali dia akan merubahnya dan kemudian hilanglah kewibawaannya dari hati-hati kaum muslimin.” Lalu beliau menggagalkan rencana tersebut, sehingga Ka’bah masih seperti itu sampai sekarang ini.
Masjid Al Haram
Masjid Al Haram adalah masjid yang ada padanya Ka’bah, dahulu masjid ini tidak bertembok akan tetapi dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk dari semua arah. Perluasan yang pertama terjadi pada masjid ini setelah datangnya islam adalah pada masa pemerintahan Umar bin Khotthob ketika beliau melihat bahwa masjid tidak bisa menampung para jamaah haji dan orang yang berziarah, lalu beliau membeli rumah-rumah yang ada di sekitarnya untuk perluasan dan mendirikan tembok atau dinding di sekeliling Ka’bah setinggi manusia (Lihat Tarikh Makkah 2/28-29), dan pada masa pemerintahan Utsman terjadi lagi perluasan, demikian juga pada masa Abdullah bin Az Zubair (ibid 2/69-70). Lalu pada masa pemerintahan bani Umayah, Walid bin Abdil Malik menambah sebidang tanah untuk masjid dan merenovasi dengan membangunnya melengkung dan menghiasinya dengan kepingan-kepingan batu dan didukung dengan tonggak-tonggak dari marmer yang dibawa dari Mesir dan Syiria. Kemudian semasa pemerintahan bani Abassiyah, khalifah Abu Ja’far Al Manshur menambah sebidang tanah lagi untuk masjid dan membangun serambi bundar.
Ketika khalifah Al Mahdi melaksanakan haji tahun 776 H, beliau membeli rumah-rumah yang berada di sekitar masjid dan tempat sa’i (mas’a) dan meratakan rumah-rumah tersebut dan menambahkannya ke dalam masjid sehingga luas masjid menjadi 1.200.000 hasta persegi. Kemudian pada masa khalifah Al Mu’tadid billah dan Al Mu’tadir billah pun terjadi perluasan, akan tetapi perluasan yang cukup besar terjadi pada tahun 306 H/918 M dan setelah itu tidak terjadi perluasan sampai pada pemerintahan kerajaan Saudi Arabia akan tetapi terjadi renovasi dan restorasi di antara masa-masa tersebut (lihat Dua Kota Suci, terbitan kementrian Penerangan Informasi Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, hal. 10).
Pemerintah Saudi Arabia sebagaimana pemerintah yang lainnya yang berkuasa di Mekkah telah memberikan perhatian yang sangat baik termasuk masjid haram sehingga pada masa raja Saud bin Abdul Aziz ditetapkan pelaksanaan perluasan besar-besaran atas masjid Al Haram yang dilaksanakan mulai dari tahun 1375 H/1955 M dan dibagi menjadi beberapa tahap:
Tahap Pertama, dimulai tahun 1375 H/1955 M yang mencakup beberapa realisasi pembangunan yang terpenting di antaranya:
  1. Membongkar fasilitas tempat tinggal dan perdagangan yang berlokasi di dekat tempat sa’i (mas’a) dan bangunan-bangunan yang terletak sebelah timur Marwa serta membangun jalan baru yang membentang sepanjang shafa dan marwa ke Qarwa, Qarara dan Syamiyah.
  2. Membangun tempat sa’i dua tingkat dengan panjang dari dalam 394,5 meter dan lebar 20 meter untuk mengakomodasi orang yang sholat dalam jumlah yang lebih banyak dengan tinggi lantai dasar 12 meter dan lantai atas 9 meter.
  3. Membangun di tengah-tengah mas’a sebuah pagar pembatas panjang hingga menjadi dua bagian. Salah satunya untuk pelaksanaan sa’i dari shafa ke marwa dan yang lain dari marwa ke shofa, guna menghindari tabrakan ketika pelaksanaan sa’i.
  4. Membuat 16 pintu yang menghadap ke timur mas’a. Dua tempat masuk untuk lantai atas; satu untuk shafa dan satu untuk marwa. Dari dalam telah dibangun dua jenjang masuk dari dalam masjid, satu dekat pintu (bab) al-shofa dan yang lain dekat pintu (bab) al-salam dan di bawah tanah dibangun ruangan setinggi 3,5 meter.
  5. Membangun saluran khusus untuk mencegah banjir.
Tahap Kedua, dimulai tahun 1379 H/1959 M, di antaranya:
  1. Membangun fondasi serambi bagian timur dan dindingnya dilapisi marmer, sementara kubah dan plafon dengan batu-batu pahatan.
  2. Menyelesaikan bagian yang belum selesai pada pembuatan saluran air pencegah banjir.
  3. Membangun gang melingkar di atas shofa yang sesuai dengan tingkat atas serambi bagian timur mas’a. Antara serambi dan mas’a dihubungkan dengan plafon bundar yang berbentuk kubah. Gang ini dikhususkan untuk mereka yang masuk melalui pintu (bab) al-Shofa yang baru menuju ke kedua lantai.
Tahap Ketiga, dimulai pada tahun 1318 H/1981 M di antaranya adalah:
  1. Membangun bagian kedua serambi barat daya dan menyelesaikan lantai bawahnya.
  2. Membangun serambi utama di daerah yang membentang dari pintu (bab) Al-Umroh ke pintu (bab) Al-Salam.
  3. Menyelesaikan pembangunan bawah tanah yang dibangun di bawah masjid Al-Haram, kecuali mas’a.
Setelah mas’a dimasukkan ke masjid al-haram, luas lantai atas dan lantai bawah masing-masing 8.000 m2 lima halaman masjid untuk umum juga telah dibangun sekitar masjid yang sekarang mempunyai 64 pintu, serta sejumlah terowongan dari semua jurusan yang dilengkapi dengan toilet dan tempat-tempat berwudhu. Areal masjid Haram setelah diperluas menjadi 193.000m2. Sebelumnya seluas 29.127 m2, yaitu bertambah seluas 131.041m2. Ini membuat masjid mampu menampung 400.000 orang yang sholat. Perluasan ini meliputi restorasi Ka’bah, areal tempat tawaf (al-mathof) dan merenovasi Maqom Ibrahim.
Kemudian pada pemerintahan raja Fahd bin Abdul Aziz terdapat perluasan dan perbaikan arsitektur masjid Haram termasuk menggabungkan bagian baru kepada masjid yang sekarang dari arah barat di areal pasar kecil antara pintu (bab) al-umroh dengan pintu (bab) al-malik. Areal perluasan bangunan ini seluas 57.000 m2 yang terdiri dari lantai bawah tanah,lantai dasar dan lantai satu. Areal ini dapat menampung 190.000 orang sholat.
Proyek ini termasuk menyelesaikan halaman-halaman luar yang terdiri dari halaman yang tertinggal dekat pasar kecil dan halaman yang berlokasi sebelah timur mas’a dengan areal seluas 59.000m2. Areal ini dapat mengakomodasikan 130.000 orang sholat. Maka areal masjid setelah perluasan sekarang, atap dan halaman seluas 328.000 m2 yang dapat mengakomodasikan 730.000 orang sholat.
Perluasan bangunan ini memiliki satu pintu masuk utama dan 18 pintu biasa. Di samping itu, bangunan yang telah ada memiliki 3 pintu masuk utama dan 27 pintu biasa. Dalam merancang bangunan perluasan ini adalah dengan membangun dua pintu masuk untuk ruang bawah tanah di samping 4 pintu masuk yang telah ada. Bangunan perluasan ini juga mempunyai dua menara setinggi 89 meter yang didisain arsitektur dan materialnya sama dengan tujuh menara sebelumnya. Untuk fasilitas jalan masuk orang-orang sholat ke atap bangunan perluasan pada musim-musim tertentu,telah dibangun 2 eskalator, satu terletak sebelah utara dan yang lain sebelah selatan dengan areal masing-masing 375m2. Kedua bangunan ini mempunyai 2 set eskalator yang masing-masing berkapasitas 15.000 orang per jam. Ini di samping dua set eskalator dalam bangunan itu yang masing-masing berada dekat dengan pintu masuk utama. Eskalator-eskalator ini ditambah dengan 8 buah tangga dibangun untuk mempermudah gerakan jamaah haji dan orang sholat. Maka masjid haram dan perluasan bangunannya telah memiliki tujuh eskalator, tersebar di seluruh penjuru masjid guna melayani pengunjung lantai pertama. Setiap lantai bangunan memiliki 492 tiang yang semuanya dilapisi dengan marmer dengan tinggi 4,3 meter untuk lantai dasar dan 4,7 meter untuk lantai pertama. Dasar tiang-tiang berbentuk segi enam. Bagian muka bangunan perluasan, tinggi 20,96 meter dihiasi dengan prasasti Islami terbuat dari marmer dan batu-batu buatan.
Masjid Al-Haram sekarang terdiri dari 3 lantai, lantai bawah tanah tingginya 4 meter, lantai dasar dan lantai satu masing-masing setinggi 10 meter. Atap perluasan masjid semuanya di lantai dengan marmer hingga dapat dipergunakan untuk sholat.
Tiga kubah bagi perluasan masjid itu berlokasi di tengah-tengah sejajar dengan pintu masuk utama, tingginya 13 meter, dan sekitarnya dibuat jendela-jendela celah. Bentuk luar kubah-kubah ini sama dengan kubah-kubah yang telah ada.
Perluasan yang dilakukan oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz terus dilakukan dengan memperluas masjid dengan pengembangan horizontal dari lantai-lantai yang sudah ada: ruang bawah tanah, lantai dasar, lantai satu dan atap. Ruangan bawah tanah semuanya terletak di bawah permukaan tanah secara mekanis telah diperlengkapi dengan ventilasi udara. Sementara itu lantai dasar dan lantai satu berada di atas permukaan tanah. Ventilasi udaranya dibuat alami melalui jendela yang saling berlawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar