Selasa, 19 Maret 2013

Kisi-kisi UTS Ushul Fiqh 2 (for 11-04-13)


Kisi-kisi UTS Fiqh Mu’amalah



1.   Thuruq al istinbath

          Intinbath merupakan pengambilan hukum dan adapun yang dibahas dikelas ushul fiqh di pertemuan pertama adalah pengambialan hukum dari alqur’an dan assunnah (nash). Sedangkan thuruq al istinbath merupakan cara atau prosedur penggalian hukum dari nash. (Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal. 166)

            Cara penggalian hukum ada dari nash dua macam pendekatan, yang pertama : Pendekatan makna (Thuruq ma’nawiyyah)  adalah penarikan kesimpulan (istidlal) hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan, masholih mursalah, dzara’I dan lain sebagainya. Yang kedua : Pendekatan makna (thuruq lafdziyah) penerapannya membutuhkan factor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu :
-          Penguasaan terhadap ma’na (pengertian)dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus
-          Mengetahui dalalahnya
-          Mengetahui perbedaan Ibarat nash dan Isyarat nash, dan lain sebagainya.

Lafadz yang jelas pengertiannya, ada empat tingkatankekuatan dilalahnya :
-          Zhahir
-          Nash
-          Mufassar
-          Muhkam

Lafadz yang tidak jelas pengertiannya, terbagi menjadi empat :
-          Al khafi
-          Al-musykil
-          Al-mujmal
-          Al-mutasyabih


2.   Dilalah al- Mafhum
          Secara etimologi pengertian al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba" mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.
          Sedangkan secara terminilogis makna al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum terhadap yang telah ditetapkan. (http://zlemb.multiply.com/journal/item/7?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem)

Dilalah al-Mafhum terbagi menjadi dua bagian :
-          Dilalah mafhum al-muwafaqoh
-          Dilalah mafhum al mukhalafah
(Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal.219)

3.   Dalalatun nash
          Disebut juga mafhum muwafaqoh dan dilalatul aula. Dilalatun nash ialah pengertian secara implicit tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (ibarotun nash) karena adnya factor yang sama(Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal. 208).
4.   Dalalatun al iqtidho
          Dilalatun Iqtidho merupakan penunjukan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut.(Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal. 210)
5.   Mujmal
          Mujmal adalah bentuk ungkapan yang dalam maknanya tersimpan banyak ketentuan dan berbagai keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui pernyataan lain yang menjelaskan (mubayyin).( Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal. 190)

6.   Ijma’ dan macam-macamnya

          Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah dalil-dalil nash (alqur’an dan hadits).Ijma’ juga merupakan kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah waafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly).  Imam syafi’I membagi hukum yang bersumber dari dalil-dalil syara’ menjadi dua :
-          Hukum Zahir
-          Hukum Batin
(Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal.307)
7.   Naskh ? syarat dan macam-macamnya !
          Naskh ialah mengganti atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian, contoh : QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dan menurut Imam ibn Hazm Naskh ialah menjelaskan bahwa masa berlakunya hukum yang terkandung dalam nash yang pertama telah habis.
          Berikut syarat-syarat meNasakh suatu nash :
-          Hukum yang diganti (mansukh) itu tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukan atas berlakunya hukum tersebut selama-lamanya (abadi).
-          Mansukh itu tidak termasuk yang masalah-masalah yang telah disepakati oleh para cerdik pandai atas kebaikan atau keburukan masalah-masalah tersebut.
-          Nasikh turunnya harus lebih akhir dari nash yang diganti (mansukh).
-          Jika nasakh tidak jelas, maka diisyaratkan kedua nash tersebut (nasikh dan mansukh) benar-benar sudah tidak dapat dikompromikan.
Nasakh terbagi menjadi dua :
-          Nasakh Sharih yaitu Nasakh yang menyatakan dengan jelas bahwa hukum yang dimansukh telah habis masa berlakunya.
-          Nasakh Dhimni ialah nasakh yang mengganti salah satu dari dua nash yang saling berlawanandan keduanya tidak dapat dikompromikan.
Nasakh Dhimni terbagi menjadi dua macam yaitu :
a.    Nasakh Dhimni yang mengganti seluruh hukum yang terkandung dalam nash yang turunnya terlebih dahulu.
b.    Nasakh Dhimni yang hanya mengganti sebagian hukum yang terkandung dalam suatu nash.  
(Kitab ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal.283, 295)
8.    Fatwa sahabat
Fatwa sahabat adalah pendapat sahabat rasulullah tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam alqur’an dan hadits
Sahabat adalah setiap muslim yang hidup dan bergaul bersama Rasul SAW dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari beliau. Beberapa contoh sahabat rasul yaitu : Abu bakar Ashidiq, Umar ibnu Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Abdul ibn Mas’ud, Zaid ibnTsabit, Abdullah ibn Umar ibn Khattab, Abdu Syata Radhiallahu ‘anha dan Abdullah ibn ‘Abbas.
Mengenai fatwa sahabat ini, Abdul Karim Zaidan (Ulama kontemporer saat ini), membagi fatwa sahabat kedalam empat kategori :
1.    Fatwa sahabat yang bukan hasil Ijtihad, contohnya seperti fatwa Ibnu Mas’ud yang mengatakan “ Batas minimum maskawin adalah sepuluh dirham”.
2.    Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka, atau lebih dikenel sebagai Ijma’ sahabat. Fatwa seperti inilah yang menjadi pegangan atau hujjah bagi generasi sesudahnya.
3.    Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang sering ikhtilaf, namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat lain.
4.    Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan pada ra’yu dan ijtihad.
(Kita b ushul fiqh Prof. Muhammad Abu Zahra Hal. 328)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar