Senin, 18 Maret 2013

Fatwa Sahabat Sebagai Sumber Hukum Syara’


Fatwa Sahabat Sebagai Sumber Hukum Syara’
                Fatwa sahabat adalah pendapat sahabat Rasulullah Sollallhu ‘Alaihi Wasallam tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam hadits Nabi dan Alqur’an.
                Adapun sahabat adalah orang – orang yang Bertemu Rasul SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Dan pendapat lain mengatakan bahwa Sahabat adalah setiap muslim yang hidup, bergaul bersama Rasul SAW dalam waktu yang cukup lamaserta menimba ilmu dari beliau. Adapun beberapa contoh sahabat yaitu Abu bakar Ashidiq, Umar ibnu Khattab, Utsman ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Abdul ibn Mas’ud, Zaid ibnTsabit, Abdullah ibn Umar ibn Khattab, Abdu Syata Radhiallahu ‘anha dan Abdullah ibn ‘Abbas.
                Permasalahan yang akan dibahas dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu benar-benar harus diikuti oleh para Mujtahid setelah Alqur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hukum syar’I atau tidak ?
                Dalam menetapkan fatwa-fatwa sahabat sebagai hujjah, Jumhur fuqoha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dail ‘aqli maupun dengan dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adlah sebagai berikut :
1.       Ayat Alqur’an yang berbunyi : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantaraorang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho pada mereka dan mereka pu ridho kepada Allah ”. (QS Attaubah : 100)
2.       Sabda Rasulullah yang berbunyi  : “Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku,sedang sahabatku adalah kepercayaan umatku”.

                Kepercayaan umat kepada para sahabat b erarti menjadikan fatwa-fatwa mereka sebagai bahan rujukan karna kepercayaan para sahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.

Sedang argumentasi yang bersifat akal (rasional) atau dalil-dalil aqli ialah :
1.       Para sahabat adalah Orang-orang yang lebih dekat kepada Rasul disbanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, Lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Alqur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran ringgi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi,  serta mengetahui situasi dimana nash-nash Alqur’an diturunkan. Oleh karna itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.       Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alas an mereka sering menyebutkan hokum-hukum yang dijelaskan oleh Rasullullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karna tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, disamping pendapat merekaselalu didasarkan pada qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untukdiikuti, karna pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (Hadits) serta sesuai dengan daya nalar (rasional).
3.       Jika pendapat para sahabat didasarkan pada qiyas, sdang para ulama yang hidup sesudah merekajuga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para sahabat karna Rasullullah bersabda : “Sebaik-baik generasi, adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.

                Ibnu Qayyim Aljauziah menjelaskan bahwa pendapat para sahabatlebih mendekati  pada Alqur’an dan Assunnah disbanding pendapat para ulamayang hidup sesudah mereka, dengan mengatakan : Bila seorang sahabat mengemukakan suatu pendapat, atau menetapkan suatu hokum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah mempunyaipengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para sahabat, maupun pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui sahabat, mungkin didengar langsung dari Rasulullah SAW, atau didengar dari Rasulullah melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya dimiliki oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak dapat meriwayatkan semua hadits yang didengar oleh Abu Bakar Ashiddiq, Umar ibn Khattab dan tokoh-tokoh sahabat lain.

                Fatwa-fatwa sahabat itu tidak keluar dari enam kemungkinan berikut ini :
a.       Fatwa tersebut didengar langsung  dari Rasulullah SAW.
b.      Fatwa terebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa dari Rasulullah.
c.       Fatwa tersebut mereka fahami dari ayat-ayat suci Alqur’an yang tidak jelas.
d.      Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti.
e.      Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, lantaran mereka menguasai bahasa Arab secara sempurna, sehingga mereka mengetahui dilalah lafadz terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau karna mereka mengetahui latar belakang suatu Khitab Alqur’an dan Hadits, atau karna mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang berkembang sepanjang pantauan mereka terhadap Rasulullah SAW, baik perbuatan dan tingkah lakunya, ucapannya, mengetahui tujuannya, dan menyaksikan turunnya wahyu serta ta’wil (tafsir)nya secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap Alqur’an dan Hadits yang lebih mendalam disbanding yang kita pahami. Fatwa-fatwa sahabat yang didasarkan atas kemungkinan yang lima ini dapat kita jadikan hujjah.
f.        Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman sahabat sendiri yang tidak berasal dari Hadits Rasulullah SAW, dan ternyata pemahaman tersebut salah. Fatwa sahabat yang bersumber dari kemungkinan ini tidak dapat dijadikan hujjah. Tapi kelima kemungkinan diatas dapat dipastikan lebih banyak terjadi dibanding satu kemungkinan ini. Oleh karna itu, fatwa sahabat mempunyai kedudukan zhanni yang lebih mendekatti kebenaran. Yang dituntut dalam fatwa sahabat, hanyalah sampai pada tingkat zhanni yang kuat yang harus diamalkan. Orang yang bijaksana tentu dapat menerima pandangan ini. (I’lam al-Muwaqqiin, juz 1, hal. 248)

Mengenai fatwa sahabat ini, Abdul Karim Zaidan (Ulama kontemporer saat ini), membagi fatwa sahabat kedalam empat kategori :
1.       Fatwa sahabat yang bukan hasil Ijtihad, contohnya seperti fatwa Ibnu Mas’ud yang mengatakan “ Batas minimum maskawin adalah sepuluh dirham”.
2.       Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka, atau lebih dikenel sebagai Ijma’ sahabat. Fatwa seperti inilah yang menjadi pegangan atau hujjah bagi generasi sesudahnya.
3.       Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang sering ikhtilaf, namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat lain.
4.       Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan pada ra’yu dan ijtihad.

Sekian pembahasan dari saya Wallahu a’lam bi showab.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar