Fatwa Sahabat Sebagai
Sumber Hukum Syara’
Fatwa
sahabat adalah pendapat sahabat Rasulullah Sollallhu ‘Alaihi Wasallam tentang
suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam hadits Nabi dan
Alqur’an.
Adapun
sahabat adalah orang – orang yang Bertemu Rasul SAW, yang langsung menerima
risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Dan
pendapat lain mengatakan bahwa Sahabat adalah setiap muslim yang hidup, bergaul
bersama Rasul SAW dalam waktu yang cukup lamaserta menimba ilmu dari beliau.
Adapun beberapa contoh sahabat yaitu Abu bakar Ashidiq, Umar ibnu Khattab,
Utsman ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Abdul ibn Mas’ud, Zaid ibnTsabit,
Abdullah ibn Umar ibn Khattab, Abdu Syata Radhiallahu ‘anha dan Abdullah ibn ‘Abbas.
Permasalahan
yang akan dibahas dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu benar-benar
harus diikuti oleh para Mujtahid setelah Alqur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam
menetapkan hukum syar’I atau tidak ?
Dalam
menetapkan fatwa-fatwa sahabat sebagai hujjah, Jumhur fuqoha mengemukakan
beberapa argumentasi, baik dengan dail ‘aqli maupun dengan dalil naqli. Adapun
dalil-dalil naqli adlah sebagai berikut :
1.
Ayat Alqur’an yang berbunyi : “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk islam) diantaraorang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho pada mereka dan mereka pu ridho
kepada Allah ”. (QS Attaubah : 100)
2.
Sabda Rasulullah yang berbunyi : “Saya
adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku,sedang sahabatku adalah
kepercayaan umatku”.
Kepercayaan umat kepada para
sahabat b erarti menjadikan fatwa-fatwa mereka sebagai bahan rujukan karna kepercayaan
para sahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi
Muhammad SAW.
Sedang
argumentasi yang bersifat akal (rasional) atau dalil-dalil aqli ialah :
1.
Para sahabat adalah Orang-orang yang lebih dekat
kepada Rasul disbanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui
tujuan-tujuan syara’, Lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Alqur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran ringgi, ketaatan yang
mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta
mengetahui situasi dimana nash-nash Alqur’an diturunkan. Oleh karna itu,
fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat
sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alas an mereka sering
menyebutkan hokum-hukum yang dijelaskan oleh Rasullullah SAW. Tanpa menyebabkan
bahwa hal itu datang dari Nabi, karna tidak ditanya sumbernya. Dengan
kemungkinan tersebut, disamping pendapat merekaselalu didasarkan pada qiyas
atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untukdiikuti, karna pandangan
tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (Hadits) serta sesuai dengan daya
nalar (rasional).
3.
Jika pendapat para sahabat didasarkan pada
qiyas, sdang para ulama yang hidup sesudah merekajuga menetapkan hokum berdasarkan
qiyas yang berbeda dengan pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang
kita ikuti adalah pendapat para sahabat karna Rasullullah bersabda : “Sebaik-baik generasi, adalah generasiku
dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
Ibnu Qayyim Aljauziah menjelaskan
bahwa pendapat para sahabatlebih mendekati
pada Alqur’an dan Assunnah disbanding pendapat para ulamayang hidup
sesudah mereka, dengan mengatakan : Bila seorang sahabat mengemukakan suatu pendapat,
atau menetapkan suatu hokum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah
mempunyaipengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para sahabat, maupun
pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui
sahabat, mungkin didengar langsung dari Rasulullah SAW, atau didengar dari
Rasulullah melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya dimiliki oleh masing-masing
sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak dapat meriwayatkan semua
hadits yang didengar oleh Abu Bakar Ashiddiq, Umar ibn Khattab dan tokoh-tokoh
sahabat lain.
Fatwa-fatwa sahabat itu tidak
keluar dari enam kemungkinan berikut ini :
a.
Fatwa tersebut didengar langsung dari Rasulullah SAW.
b.
Fatwa terebut mereka dengar dari sahabat yang
mendengarkan fatwa dari Rasulullah.
c.
Fatwa tersebut mereka fahami dari ayat-ayat suci
Alqur’an yang tidak jelas.
d.
Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan
tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti.
e.
Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara
pribadi, lantaran mereka menguasai bahasa Arab secara sempurna, sehingga mereka
mengetahui dilalah lafadz terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau karna
mereka mengetahui latar belakang suatu Khitab Alqur’an dan Hadits, atau karna
mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang berkembang sepanjang
pantauan mereka terhadap Rasulullah SAW, baik perbuatan dan tingkah lakunya,
ucapannya, mengetahui tujuannya, dan menyaksikan turunnya wahyu serta ta’wil (tafsir)nya
secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap Alqur’an
dan Hadits yang lebih mendalam disbanding yang kita pahami. Fatwa-fatwa sahabat
yang didasarkan atas kemungkinan yang lima ini dapat kita jadikan hujjah.
f.
Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman
sahabat sendiri yang tidak berasal dari Hadits Rasulullah SAW, dan ternyata
pemahaman tersebut salah. Fatwa sahabat yang bersumber dari kemungkinan ini
tidak dapat dijadikan hujjah. Tapi kelima kemungkinan diatas dapat dipastikan
lebih banyak terjadi dibanding satu kemungkinan ini. Oleh karna itu, fatwa
sahabat mempunyai kedudukan zhanni yang lebih mendekatti kebenaran. Yang dituntut
dalam fatwa sahabat, hanyalah sampai pada tingkat zhanni yang kuat yang harus
diamalkan. Orang yang bijaksana tentu dapat menerima pandangan ini. (I’lam al-Muwaqqiin, juz 1, hal. 248)
Mengenai
fatwa sahabat ini, Abdul Karim Zaidan (Ulama kontemporer saat ini), membagi
fatwa sahabat kedalam empat kategori :
1.
Fatwa sahabat yang bukan hasil Ijtihad,
contohnya seperti fatwa Ibnu Mas’ud yang mengatakan “ Batas minimum maskawin adalah sepuluh dirham”.
2.
Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan
mereka, atau lebih dikenel sebagai Ijma’ sahabat. Fatwa seperti inilah yang
menjadi pegangan atau hujjah bagi generasi sesudahnya.
3.
Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat
sahabat yang lain. Para mujtahid dikalangan sahabat memang sering ikhtilaf,
namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat lain.
4.
Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan
pada ra’yu dan ijtihad.
Sekian pembahasan dari saya Wallahu a’lam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar